JENIS GUGATAN PERDATA
*oleh Farida Kurniawati, SH, MH.Li
Sebelum mengenal jenis gugatan perdata, kita harus paham
makna dari hukum perdata. Apa saja yang termasuk dalam ruang lingkup hukum
perdata dan berlaku untuk siapakah hukum perdata tersebut?. Bagi mahasiswa
ataupun orang yang sedang atau menempuh pendidikan di fakultas hukum pasti
sudah tidak asing dengan istilah hukum perdata. Namun berbeda dengan Orang awam
yang tidak berlatar belakang pendidikan hukum pasti akan sangat susah
membedakan bagaimana jenis hukum perdata dan bagaimana jenis hukum lain misalnya hukum pidana, ketatanegaraan,
administrasi negara dan lain sebagainya
Hukum perdata masuk dalam wilayah hukum privat, artinya
tidak semua orang dapat dikualifikasikan masuk hukum perdata, karena hukum
perdata adalah hukum yang berlaku apabila kedua belah pihak atau para pihak
sudah membuat atau melaksanakan perbuatan hukum.
Perbuatan hukum dalam hal ini tidak hanya berarti
perjanjian, namun segala hal yang berkenaan dengan hukum, misalkan dalam suatu
putusan yang mengikat kedua belah pihak untuk melaksanakan putusan tersebut
dalam rentan waktu tertentu
Karena permasalahan hukum perdata adalah privat yang artinya
orang terikat perdata apabila sudah ada permulaan perbuatan hukum yang
dilaksanakan atau sudah ada perbuatan hukum yang mengikatnya. Oleh karenanya
gugatan perdata tebagi menjadi dua, yakni gugatan wanprestasi dan gugatan
Perbuatan melawan hukum
Pertama,
jenis gugatan wanprestasi dimaknai sebagai tidak dilaksanakan prestasi(hak dan
kewajiban) yang telah disepakati bersama dan dituangkan dalam bentuk perjanjian
baik perjanjian otentik maupun perjanian dibawah tangan. Wanprestasi atau bisa
disebut ingkar janji adalah suatu perbuatan yang terdiri dari empat macam
bentuk, yakni:
a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan
dilakukan
b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak
sebagaimana dijanjikan
c. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak
boleh dilakukan
Wanprestasi harus berawal dari adanya suatu perjanjian,
karena sesuai dengan maknanya adalah ingkar janji, sehingga harus ada janji
terlebih dahulu untuk memenuhi unsur atau perbuatan “ingkar” tersebut. Perjanjian
pun bermacam-macam, dapat terdiri dari perjanjian tertulis maupun perjanjian
lisan, namun ketika kita berbicara masalah gugatan, tentu harus jelas alat
buktinya sehingga pengingkaran janji yangmana janji tersebut adalah perjanjian
lisan tentu akan sangat susah beban pembuktiannya ketika dibawa keranah gugatan
di Pengadilan Negeri
Dalam pasal 1866 KUHPerdata dijelaskan macam alat bukti
yakni: bukti tertulis, keterangan saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan,
dan sumpah. Bahwa alat bukti yang paling kuat dalam hukum acara perdata adalah
bukti tertulis, oleh karenanya kenapa dalam hukum perdata yang dicari adalah
kebenaran formil, yakni kebenaran yang bertitik tolak dari bukti-bukti tertulis
yang didukung keterangan saksi
Bahwa perjanjian tertulis pun terbagi lagi menjadi dua
bagian yakni perjanjian dengan akta dibawah tangan maupun akta otentik. Akta dibawah
tangan tidak kuat jika dibandingkan dengan akta otentik dimana beban pembuktian
otentik sangat sempurna sehingga tidak perlu didukung dengan alat bukti yang
lain, sedangkan akta dibawah tangan mempunyai beban pembuktian yang tidak
sempurna sehingga pihak yang mendalilkan harus menghadirkan alat bukti lain
yang menyempurnakan dan menguatkan perjanjian tersebut
Perjanjian secara lisan atau perjanjian tertulis dibawah
tangan sangat lemah beban pembuktiannya sehingga apabila pihak lawan menyangkal
maka secara otomatis perjanjian tersebut tidak terpakai atau tidak sah. Sehingga
untuk membuat sahnya penjanjian tersebut dihadapan persidangan maka pihak yang
mendalilkan harus menghadirkan alat bukti pendukung lain
Kedua, gugatan perbuatan melawan hukum yang diatur dalam
pasal 1365 KUHPerdata, yakni “tiap perbuatan melawan hukum yang membawa
kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian untuk mengganti kerugian”
Berbeda dengan wanprestasi yang harus dimulai dahulu dengan
adanya suatu perjanjian, Perbuatan melawan hukum tidak membutuhkan perjanjian
terlebih dahulu. Namun hal tersebut tidak berarti setiap orang boleh mengajukan
gugatan perbuatan melawan hukum kepada orang lain, tetap syaratnya adalah
antara kedua belah pihak atau para pihak sudah harus ada perbuatan hukum
terlebih dahulu, artinya adalah kedua belah pihak atau para pihak sudah
melakukan perbuatan yang kemudian berdampak pada adanya kerugian salah satu
pihak
Terdapat suatu penemuan yang akhirnya merubah konsep
Perbuatan melawan hukum, yang dahulu dapat dikatakan seseorang melakuka perbuatan
melawan hukum apabila orang tersebut nyata-nyata melakukan hal-hal yang
bertentangan dengan aturan perundang-undangan, namun setelah ada putusan
pengadilan belanda (Hoge raad) tanggal 31 januari 1919 yang terkenal dengan “lidenbaum
cohen arrest” dimana cerita dari kasus tersebut adalah tentang pegawai yang bekerja di kantor Lindenbaum yang
dibujuk oleh Cohen agar memberitahukan nama-nama pelanggannya berikut penawaran
yang diberikan kepada mereka. Dengan data itu, Cohen bisa memanfaatkan
data-data tersebut untuk membuat suatu penawaran baru yang akan membuat
orang-orang akan memilih kantor percetakannya daripada kantor Lindenbaum.
Kemudian Lindenbaum
langsung mengajukan gugatan terhadap Cohen di muka pengadilan Amsterdam. Selain
mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap Cohen, Lindenbaum juga
meminta ganti rugi atas perbuatan Cohen tersebut. Di tingkat pertama Cohen
kalah, tetapi sebaliknya di tingkat banding justru Lindenbaum yang kalah.Di
tingkat banding, dikatakan bahwa tindakan Cohen tidak dianggap sebagai suatu
perbuatan melawan hukum karena tidak dapat ditunjukkan suatu pasal dari
Undang-Undang yang telah dilanggar oleh Cohen
Akhirnya pada saat kasasi, lidenbaum menang dan Hoge raad
(mahkamah agung belanda) menyatakan bahwa pengertian Perbuatan melawan hukum
diluaskan bukan hanya berkenaan dengan perbuatan yang melanggara turan
perundang-undangan namun lebih luas lagi yakni melanggar hak-hak orang lain,
bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku atau bertentangan dengan kesusilaan
Perbuatan melawan hukum tersebut bukan hanya perbuatan yang
aktif dilakukan, namun perbuatan pasif yang kemudian merugikan orang lain pun
juga dapat dikatakan pebruatan melawan hukum. Intinya harus ada kerugian atas
perbuatan salah satu pihak tersebut