PROSES HUKUM UNTUK ANAK YANG MELAKUKAN
TINDAK PIDANA
*Oleh Farida
Kurniawati, SH, MH.Li
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk
bayi yang sedang berada didalam kandungan. Usia yang belum genap 18 tahun ini
membuat anak rentan terhadap gangguan dari luar sehingga orang dewasa harus
fokus terhadap perlindungan anak dari bahaya yang ditimbulkan akibat peran
orang dewasa yang buruk
Anak adalah cermin dari lingkungan sekitar, sehingga baik
atau buruknya seorang anak tak lepas dari pengaruh baik atau buruknya
lingkungan disekitarnya. Apabila ada anak yang melakukan kejahatan dalam hal
ini adalah tindak pidana maka anak tidak serta merta dijatatuhi hukuman yang
sama seperti orang dewasa pada umumnya, hal ini dikarenakan anak dianggap belum
mampu untuk membedakan hal-hal apa saja yang dapat masuk kualifikasi tindak
pidana atau tidak
Undang-undang kemudian meletakkan perbedaan anak yang
melakukan tindak pidana dengan orang dewasa yang melakukan tindak pidana yang
akan kami ulas sebagai berikut:
A. Perbedaan penyebutan
Penyebutan
ini amat sangat berpengaruh terhadap kondisi psikologis anak, sehingga
undang-undang dalam Undang-undang No.11 tahun 2012 tentang sistem Peradilan
pidana anak menyebut anak yang melakukan tindak pidana dengan sebutan “anak
yang berhadapan dengan Hukum” (ABH) sedangkan orang yang dewasa yang melakukan
tindak pidana disebut sebagai Tersangka, Terdakwa
B. Upaya Diversi (Pengalihan dari proses
pidana ke proses diluar hukum pidana)
Anak
yang berhadapan dengan hukum (ABH) mendapatkan kesempatan untuk dilakukan upaya
diversi atau upaya mengalihkan proses hukum pidana menjadi proses diluar hukum
pidana yang dilalui di tingkat penyidikan, penuntutan dan pengadilan.
Kewajiban
ini oleh pembuat undang-undang dibuat menjadi tidak konsisten, karena ada
syarat dan dapat dikatakan wajib yang bersyarat, sehingga bukan “diversi wajib
dilakukan”, melainkan “diversi wajib dengan syarat”
Syarat
untuk dilakukan diversi adalah:
1. Diancam dengan pidana penjara di
bawah 7 (tujuh) tahun)
2. Bukan merupakan pengulangan tindak
pidana
3. Mendapat persetujuan dari korban atau
anak korban
Apabila tidak dipenuhi syarat
sebagaimana diatas maka proses penyidikan dan melimpahkan ke kejaksaan
dilampiri hasil diversi yang tidak memenuhi syarat. Selain itu diversi dapat
dibatalkan karena sifat diversi sendiri seperti perjanjian
C. Penahanan
Perbedaan
jangka waktu penahanan antara orang dewasa yang melakukan tindak pidana dengan
anak yang melakukan tindak pidana pun juga berbeda, adapun penahanan untuk anak
yang melakukan tindak pidana adalah anak yang sudah berusia lebih dari 14 tahun
dan tindak pidana yang dilakukan adalah tindak pidana dengan ancaman 7 (tujuh)
tahun penjara atau lebih. Adapun Lama penahanan adalah sebagai berikut:
1. Penahanan di tingkat penyidikan:
paling lama 7 (tujuh) hari, dapatndiperpanjang oleh penuntut umum 8 (delapan)
hari
2. Penahanan di tingkat penuntutan: paling
lama 5 (lima) hari, dapat diperpanjang oleh hakim pengadilan negeri paling lama
5 (lima) hari
3. Penahanan di tingkat pemeriksaan
pengadilan: Paling lama 10 (Sepuluh) hari, dapat diperpanjang oleh ketua
pengadilan paling lama 15 (lima belas) hari
4. Penahanan di tingkat banding:
dilakukan hakim banding paling lama 10 (sepuluh) hari, diperpanjang ketua Pengadilan
tinggi 15 Lima belas) hari)
5. Penahanan terpaksa tingkat kasasi:
dilakukan oleh hakim kasasi 15 (lima belas) hari, diperpanjang oleh ketua
Mahkamah Agung paling lama 20 (dua puluh) hari
Penahanan anak harus dilakukan di
LPAS, apabila tidak ada LPAS (Lembaga penempatan anak sementara) maka dapat
dilakukan di LPKS (Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial) setempat
D. Proses persidangan yang berbeda
dengan pidana yang dilakukan orang dewasa
Secara
psikologis antara anak dengan orang dewasa akan berbeda, anak cenderung Baper
(bawa perasaan) sedangkan orang dewasa karena sudah mampu berfikir akan dapat
lebih mudah berlapang dada dan menerima kenyataan bahwa perbuatannya memang
salah
Proses
persidangan untuk Anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) akan kami ulas secara
garis besar sebagai berikut:
1. Hakim, Jaksa dan penasehat hukum
tidak mengenakan toga saat sidang
2. Jumlah hakim yang menyidangkan
perkara anak berjumlah satu orang
3. Wajib didampingi oleh petugas dari pembimbing
kemasyarakatan
4. Disidangkan di ruang sidang khusus
anak
5. Ruang tunggu sidang anak dipisahkan
dari ruang tunggu sidang orang dewasa
6. Waktu sidang anak didahulukan dari
waktu sidang orang dewasa
7. Pemeriksaan perkara adalah tertutup
untuk umum, kecuali pada saat pembacaan putusan
8. Setelah pembacaan dakwaan hakim
memerintahkan Pembimbing kemasyarakatan membacakan laporan hasil penelitian kemasyarakatan
mengenai anak yang bersangkutan berisi data pribadi (anak, keluarga, pendidikan
dan kehidupan sosial); latar elakang dilakukannya tindak pidana; keadaan
korban; hal lain yang dianggap perlu; berita acara diversi; kesimpulan dan
hasil rekomendasi dari pembimbing kemasyarakatan. Aporan tersebut dibacakan tanpa
kehadiran anak, kecuali hakim berpendapat lain
9. Pada saat memeriksa anak korban/anak
saksi, hakim dapat memerintahkan agar anak dibawa keluar ruang sidang, namun
advokat dan pembimbing kemasyarakatan tetap hadir dan apabila anak korban/anak
saksi tidak dapat hadir maka boleh diajukan melalui rekaman atau komunikasi
audiovisual
10. Hakim harus mempertimbangkan laporan
penelitian kemasyarakatan dari pembimbing kemasyarakatan sebelum menjatuhkan
putusan dan apabila tidak dipertimbangkan dalam putusan hakim, maka putusan
tersebut batal demi hukum
Perbedaan proses hukum untuk anak yang berhadapan dengan
hukum (ABH) dengan proses hukum pidana untuk orang dewasa dilihat dari
penjelasan diatas jelas sangat berbeda, hal tersebut dikarenakan anak merupakan
tunas, potensi serta generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa yang
memiliki peran strategis, ciri dan sifat khusus sehingga pemerintah terutama
penegak hukum wajib melindungi dari segala bentuk perlakuan yang tidak
manusiawi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar